Bupati Ajak Orang Tua Larang Anak Nonton Sinetron Remaja

PEKANBARU (RiauInfo) - Bupati Bengkalis H Syamsurizal mengingatkan dan mengajak orang tua di daerah ini untuk melarang dan tidak membolehkan anak-anak mereka menonton siinetron di televisi.

Pasalnya, berdasarkan temuan para peneliti, sinetron tersebut, khususnya sinetron remaja banyak yang ditayangkan di layer kaca itu, berdampak buruk terhadap perkembangan psikologi anak. Mengutip temuan para peneliti dari 18 perguruan tinggi (PT) di Indonesia tentang sinetron, khususnya sinetron remaja yang dipublikasikan salah satu harian ibukota, kekerasan menjadi porsi utama dalam plot dan adegan sintron remaja. Kekerasan bukan lagi semata bumbu untuk memunculkan kontras atau konflik. “Kekerasan menjadi inti cerita itu sendiri. Hal ini akan berdampak buruk pada perkembangan kejiwaan anak,” terang Syamsurizal. Hal itu disampaikan bupati saat memberikan pengarahan pada apel Senin (10/3) di halaman Kantor Bupati Bengkalis. Mengutip hasil riset itu, sebagaimana disampaikan Kabag Humas Pemkab Bengkalis, Johansyah Syafri, bupati mengatakan hampir separuh kekerasan yang ditayangkan di televisi (44,52 persen) merupakan kekerasan psikologis. Kekerasan ini tecermin lewat perilaku mengancam, memaki-maki, mengejek, melecehkan, memarahi, memelototi, dan membentak. “Porsi terbesar kedua ditempati kekerasan fisik (22,82 persen). Selanjutnya adalah kekerasan relasional (9,87 persen). Ini sejenis kekerasan yang mengakibatkan rusaknya hubungan antarkarakter atau antarkomunitas, tecermin lewat perilaku seperti menggunjing, memfitnah, atau menyebar desas-desus. Semu itu tidak baik ditonton anak-anak. Mereka akan menirunya” katanya. Diterangkan Syamsurizal, penelitian itu melibatkan 67 periset dari pelbagai perguruan tinggi di empat kota besar di pulau Jawa. Yaitu Jakarta, Bandung , Yogyakarta, dan Surabaya . Para peneliti itu menganalisis isi 92 judul sinetron remaja sepanjang tahun 2006 hingga tahun 2007. Jumlah episode sinetron yang diteliti sebanyak 362 episode dengan total durasi 464 jam. Buruknya lagi, kata Syamsurizal, sinetron remaja tersebut juga tidak mendidik. “Sebagai contoh, sekolah boleh dijadikan tempat pacaran. Para siswa memakai pakaian ketat (seksi). Bukan sebagai tempat untuk belajar sebagaimana mestinya. Karena itu, agar mental dan juga aqidah anak tidak rusak, sebaiknya mereka dilarang menonton sinetron. Diet menonton sinetron, khususnya sinetron remaja,” ajaknya. Siapa pelaku kekerasan? Sebagaimana hasil penelitian itu, kata Syamsurizal, kebanyakan remaja (51 persen). “Siapa korban kekerasan? Kebanyakan juga remaja (66 persen),” terangnya seraya berulang kali mengingatkan agar orang tua di daerah ini melarang anaknya meonton sinetron remaja. “Khususnya ibu-ibu, karena umumnya yang banyak dan suka menonton sinetron adalah ibu-ibu,” imbuhnya, mengingatkan. Masih menurut Syamsurizal, selain sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, media memiliki peran strategis dalam menamamkan nilai-nilai. Media berfungsi sebagai sarana pembelajaran sosial yang ampuh. Tidak terkecuali televisi. “Dalam sinetron remaja yang ditayangkan di layar kaca, khususnya sinetron remaja kekerasan dihadirkan sebagai yang positif. Bukan sesuatu yang perlu diberi ganjaran. Dengan pemahaman yang terbatas, anak-anak akan mencontohnya. Kalau memang saying, orang tua harus berani melarang anak-anak menontonnya,” ajaknya lagi.(ad/rls)

Berita Lainnya

Index