Cendekiawan Harus Bersatu Berdayakan Daulat Rakyat 

image JAKARTA (RiauInfo) - Kalau pemerintah dan lembaga parlemen sudah tidak mampu mengatasi persoalan rakyat, tidak ada pilihan lain yang terbaik saat ini hanya berharap kaum cendekiawan bersatu, lalu berdayakan daulat rakyat yang sekarang  tertindas. Persoalan rumit yang kerap dikeluhkan rakyat dewasa ini antara lain soal pengelolaan lahan garapan serta proses kepemilikannya  yang selalu menimbulkan masalah.  "Aturan adat sudah dicoba mengatasi soal tersebut, namun ujung ujungnya malah timbul pertikaian yang memakan waktu bertahun tahun. Kalau parlemen dan pemerintah tidak mampu mengatasinya, ya para cendekiawan harus bersatu untuk memecahkan soal itu. Kalau kaum cendekiawan turun tangan, pasti akan selesai," ujar Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo ketika menutup diskusi bertemakan "Memperkokoh Kedaulatan Rakyat Dalam sistem Demokrasi Kita"  di Senayan Room, Residence 2, Komplek Hotel Sultan,  Jakarta, Jumat sore (10 Juni). Diskusi yang difasitasi Aliansi Kebangsaan itu menampilkan pembicara Chalid Muhammad (mantan Ketua Walhi yang kini tergabung di Institut Indonesia Hijau), kemudian Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Hadir menyimak jalannya diskusi Prof Dr Hasyim Djalal, Dawam Raharjo, Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti Iman Sunario dan para cendekiawan lainnya. Dr Yudi Latief memoderatori acara tersebut. Menurut Chalid Muhammad, berdasarkan peninjauannya ke beberapa daerah di tanah air, ternyata pemerintah punya andil besar kenapa di daerah masyarakat petani sulit memiliki lahan garapan. Tapi anehnya ada segelintir pengusaha diantaranya Eka Tjipta Wijaya dan Sukanto Tanoto yang bisa menguasai lahan hingga ratusan ribu hektar, sementara rakyat untuk mengelola lahan garapan saja sering dibenturkan dengan beragam aturan. "Itu  tidak adil. Dan fakta seperti itu ada dimana mana di negeri ini. Pemerintah cenderung kewalahan bahkan tidak bisa  mengatasinya. Pemerintah juga membiarkan rakyat tak berdaulat. Ini memprihatinkan sekali," ujar Chalid Muhammad. Akibatnya, Prof Dr Hasyim Djalal angkat bicara: kalau sudah begitu parah keadaannya, bagaimana pemerintah menerjemahkan arti sila ke-4 Pancasila; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan? Bagaimana pula pemerintah mengartikan  sila terakhir dari Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Menurut pandangan Abdon Nababan, demokrasi di Indonesia saat ini sedang sakit, sehingga pemerintah tidak bisa berbuat banyak saat rakyatnya tertindas dan hilang kedaulatannya.  Dalam makalahnya bertajuk "Memperkokoh Kedaulatan Rakyat Dalam Demokrasi Kita Dari Perspektif Masyarakat Adat", Abnon mengingatkan bahwa dewasa ini dalam setiap ajang perebutan jabatan politik mulai dari pemilihan Kades, bupati, walikota, gubernur sampai presiden, yang selalu menarik dibincangkan adalah semakin kuatnya pengaruh kapital (politik uang) dan semakin menjauhnya demokrasi kita dari falsafah hidup kebangsaan Indonesia. Kenyataan itu mengartikan telah terjadi pergeseran nilai yang sebelumnya bersifat kolektif menjadi semakin individualistik. "Ini membuktikan demokrasi kita sedang sakit" ujar Abnon Nababan. Dahulu, jika peran pemerintah dinilai kurang mampu memberdayakan daulat rakyat, maka masyarakat adat selalu jadi andalan tampil memecahkan masalah. Sekarang beda. Lembaga adat yang hidup di masyarakat hanya dinilai sebagai alat kelengkapan yang tidak punya kekuatan apa apa. Sejatinya hak asal usul masyarakat adat atas wilayah adat sampai pada pengaturan sendiri kehidupan bersama komunitas ini dijamin dalam konstitusi kita sebelum amandemen, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, sesudah amandemen menjadi pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 (I) ayat 3. Mengacu pada pasal pasal itu, Repubik Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional, telah lebih dahulu mengakui dan secara hukum melindungi hak hak asal usul, termasuk komunitas masyarakat adat.  Sayangnya, kata Abnon Nababan, realitas perjalanan kita sebagai bangsa merdeka menunjukkan hal yang sebaliknya. Hak masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri berdasarkan hak asal usul secara sistematis dihilangkan oleh pemerintah dengan berbagai instrumen yang mengatasnamakan negara. "Jadi masuk akal jika masyarakat di pedalaman selalu diteror berbagai kerumitan jika ingin mengurus hak kepemilikan lahan. Sampai sekarang kenyataan itu masih mudah ditemukan di daerah. Maklum, demokrasi kita sedang sakit" ujar Abnon Nababan menambahkan. (Herman Ami).

Berita Lainnya

Index