Dr Elmi Ridar SpA - Kanker Darah, Bocah Riau dan Kepedulian Kita

news6815DI TENGAH kesuksesan pemerintah daerah mewujudkan anak-anak Riau yang sehat, sebagian bocah-bocah di Negeri Lancang Kuning justru sedang berjuang melawan kanker darah (leukemia).

Sejatinya penyakit yang berhubungan dengan darah, pada anak, setidaknya ada tiga macam. Masing-masing haemofilia, thalasemia dan leukemia itu sendiri. 

Haemofilia adalah penyakit keturunan, berupa gangguan pembekuan darah. Kalau terjadi pendarahan pada penderita, darahnya susah berhenti. Bagi penderita haemofilia berat, bahkan seringkali terjadi pendarahan secara spontan di dalam tubuhnya. Kasus ini, paling banyak terjadi di persendian, dan seringkali berakhir dengan kecacatan fisik. 

Dipastikan, penderita haemofilia hanya laki-laki. Perempuan tidak. Sebab, begitu seorang bocah perempuan haemofilia lahir, dia akan langsung meninggal, karena begitulah sifat penyakit itu. 

Pengobatan penyakit ini membutuhkan biaya jutaan rupiah. Penanganan haemofilia berat, membutuhkan obat pembekuan darah rata-rata 3-4 botol perbulan dengan biaya Rp 1,4 juta sebotol. Kebutuhan ini jelas meningkat jika pendarahan yang terjadi pada penderita agak banyak, misalnya luka robek karena jatuh atau terbentur. Bayangkan, seorang anak haemofilia yang disunat Rasul, memerlukan sedikitnya 10 botol obat atau senilai Rp 14 juta. 

Saat ini, sedikitnya terdapat 11 penderita haemofilia yang sedang ditangani di Riau. Ada yang masih bayi, kanak-kanak, dan ada pula yang sudah mahasiswa. Di antaranya tiga bersaudara asal Bagansiapiapi, Rokan Hilir. Si anak pertama, yang mengidap haemofilia, ketika berusia dua tahun terjatuh sehingga mengalami luka dan pendarahan di dagu. Karena waktu itu, di Bagansiapiapi belum ada unit transfusi darah, si bocah meninggal. Anak kedua, juga menderita haemofilia dan mengalami nasib serupa. Maut menjemputnya karena mengalami pendarahan di otak. Sekarang adiknya, si bungsu, juga mengidap haemofilia. Namun masih dalam perawatan.

Lalu, thalasemia? Adalah penyakit, dimana struktur haemoglobin darah penderitanya tidak normal. Akibat kelainan ini, umur darahnya pendek, kurang dari usia normal, yakni 120 hari. Dengan kondisi ini, seorang penderita thalasaemia akan terlihat cepat pucat, lemas, ngantuk, hidupnya tidak berkualitas, dan tidak berprestasi. Selain itu, metabolisme tubuh penderita pun terganggu. 

Satu-satunya cara menangani penyakit ini adalah, penderita harus melakukan transfusi darah sekali sebulan, sepanjang usianya. Biaya yang dibutuhkan tentu tak sedikit. Tiap kali transfusi, perlu 2-3 kantong darah dengan harga kantong Rp 110 ribu. Itu belum seberapa. Yang berat adalah biaya pembelian obat pembersih zat besi (kelasi) di dalam darah sebesar Rp 3 juta sebulan. 

Biaya sebesar itu pun hanya berlaku hingga si penderita menginjak usia 10 tahun. Ini akan meningkat terus sejalan dengan pertambahan usia dan berat badan.

Saat ini penderita thalasemia yang terdeteksi dan sempat dirawat, sekitar 45 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah dan status sosial. Namun rata-rata dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

Sedangkan leukemia ialah penyakit kanker ganas yang menyerang sumsum tulang, yang tak lain adalah ‘pabriknya’ darah. Penyakit yang acapkali datang mendadak ini, dapat menyerang siapa saja. 

Anak penderita leukemia membutuhkan perawatan dan pengobatan serius. Selama 2-3 bulan pertama, mereka wajib dikemoterapi dan dirawat inap di rumahsakit. Selanjutnya pengobatan (kemoterapi) digenapkan menjadi dua tahun penuh. Namun selama rawat jalan, penderita harus melakukan kontrol berkala ke rumahsakit dua kali sebulan. 

Biayanya? 
Total biaya pengobatan yang normal, dimana pasien tak mengalami komplikasi dengan penyakit lain, selama dua tahun tersebut, adalah Rp 100 juta lebih. Ampun!

Di Riau, peluang penderita leukemia untuk disembuhkan dan bertahan hidup, baru sekitar 70 persen. Sisanya meninggal. Tapi bukan karena penyakit kankernya, melainkan akibat infeksi. 

Maklumlah, di RSUD Pekanbaru belum tersedia fasilitas penanganan kanker (Cancer Center) yang baik. Tak punya ruang isolasi dan kamar rawatan yang cukup. Bayangkan, dalam satu kamar rawatan yang mestinya hanya ditempati 1-2 pasien, ditumpuk menjadi 6-8 orang. Jadi, infeksi nasokomial (infeksi rumah sakit) muncul setiap saat karena perawatan yang kurang berkualitas. 

Padahal RSUD Arifin Achmad adalah satu-satunya rumah sakit pemerintah di Riau yang bisa menangani penyakit-penyakit tadi. Ini disebabkan, dokter ahli kanker dan darah anak, yang jumlahnya tak sampai dua orang, hanya ada di rumh sakit yang tongkrongannya mentereng ini.

Kini jumlah penderita kanker darah yang terdeteksi dan sempat dirawat di Riau sekitar 34 orang.

Kepedulian Kita

Saya yakin jumlah penderita leukemia, haemofilia dan thalasemia sebagaimana diungkap di atas, hanya sebagian kecil dari penderita yang ada di Riau yang datang ke rumah sakit. Penderita lain yang tak terdeteksi dan terungkap ke permukaan pasti lebih banyak.

Keluarga mereka terpaksa ‘menyembunyikan’ dan pasrah menerima keadaan karena tak mampu membiayai pengobatan. Sebab, dari catatan saya, sebagian besar penderita ketiga penyakit tadi yang kini sedang ditangani di Pekanbaru, berasal dari keluarga nelayan, petani karet, PNS dan sejenisnya.

Dengan status ekonomi semacam itu, pastilah berat bagi mereka mengobati anak-anaknya ke RSUD Pekanbaru. Ini tergambar dari wajah-wajah pasrah dan tak berdaya mereka saat datang menghadap dokter dan paramedis di rumahsakit. Apalagi bagi mereka yang berasal dari pelosok kabupaten/ kota, yang untuk ongkos transportasi saja mereka kewalahan. 

Bantuan pemerintah, berupa Askeskin (asuransi kesehatan keluarga miskin) dan sejenisnya, sebagaimana biasa, tak banyak membantu. Ini terjadi akibat rumitnya birokrasi, baik saat pengurusan administrasi Askeskin itu sendiri, maupun perjuangan untuk mendapatkan bantuan darah dan pengambilan obat nantinya. Berbelit-belit. Sementara anak-anak penderita kanker dan kelainan darah itu, terus berjuang melawan maut.

Memang, tidak semua keluarga penderita tersebut tergolong rakyat miskin sesuai standar pemerintah. Tapi untuk memikul biaya pengobatan jutaan rupiah dan rutin sepanjang hidup penderita, mereka juga tak sanggup. 

Dalam konteks ini, diperlukan kesadaran semua pihak yang berwenang memberikan fasilitas Askeskin, untuk membuat kebijakan yang memihak kepada penderita kanker dan kelainan darah tadi. Dalam arti kata jangan sampai mempersulit. Apalagi, jumlah mereka kan tidak terlalu banyak dibandingkan dengan penderita penyakit lain. 

Melalui tulisan ini, saya juga mengetuk hati kita semua, untuk membuka kran sifat kedermawanan masing-masing. Sekecil apa pun kepedulian kita, pasti akan sangat bermakna bagi anak-anak penderita leukemia, thalasemia dan haemofilia di Negeri Melayu ini, dalam menunda datangnya ajal. Insyaallah.

Berita Lainnya

Index