Indonesia Tidak Boleh Hanyut Oleh Budaya Asing

Diskusi Panel Serial ke-10 Referensi Global Jakarta (RiauInfo) – Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial ke-10 bertema “Referensi Global” di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Sabtu (2/4) lalu. Tampil sebagai pembicara adalah Irid F. Agus, MA,Ph.D, Dr. Eva. Latifah, Prof. Dr. A. Dahana, dan Johanes Herlijanto, Ph.D. Sementara dari Yayasan Suluh Nuswantara Bakti hadir Pembina YSNB Pontjo Sutowo  dan Ketua YSNB Iman Sunario. Hadir pula sejumlah cendekiawan, diantaranya Prof Dr Laode Kamaludin dan Mantan Panglima TNI Jenderal Purn Djoko Santoso. Menurut Pontjo Sutowo masuknya budaya asing ke sebuah negara merupakan sebuah kewajaran. Namun dalam kewajaran tersebut menjadi berbeda, ketika sebuah negara  mampu memaksimalisasi sebagai alat kebangkitan. Sayangnya ada pula negara yang bias hanyut mengikuti budaya asing, sehingga budaya nasionalnya memudar. Di Indonesia akibat pengaruh budaya asing menjadikan negara ini hanyut mengikuti budaya asing, khususnya budaya Amerika. Jika dalam taraf awal pengaruh tersebut dimulai dari film-film Holywood, kini melebar dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, militer, dan sistem hukum Indonesia. Bahkan pada era reformasi ini, ide-ide liberalisme masuk dalam pasal-pasal amandemen UUD 1945. Padahal,  ‘Pasal-pasal Amerika’ ini bertentangan dengan dasar dan idiologi negara yang dimiliki bangsa ini. “Karena itu, kita perlu memberikan perhatian khusus terhadap kebudayaan, agar kita tidak hanyut mengikuti budaya asing. Idealnya, Indonesia memang tidak boleh hanyut oleh budaya asing,” kata Pontjo Sutowo. Irid F. Agus malah menilai sebenarnya pendirian negara Amerika Serikat memiliki sejarah yang hampir sama dengan Indonesia, yaitu sama-sama memerdekakan diri dari pihak penjajah. Namun Amerika mengembangkan budaya individualism dan Indonesia budaya kolektifitas. Indeks individualism budaya Amerika adalah 91, sedangkan indeks individualism budaya Indonesia hanya memiliki skor 14. “Namun demikian, budaya individualism dan budaya kolektifitas merupakan budaya netral, budaya itu tidak membuat sebuah negara menjadi maju atau tidak. Negara dengan budaya kolektifitas juga dapat maju seperti misalnya budaya Singapura yang juga memiliki budaya kolektifitas karena indeks individualismnya memiliki skor 20. Kemajuan pada dasarnya dapat dicapai dengan mampunya sebuah negara memaksimalkan nilai positif budaya yang ada dan meminimalisasi nilai negatif budaya yang ada”, kata Irid. Sementara itu menurut A. Dahana, Cina tidak hanyut terhadap budaya asing karena Cina mampu menerapkan konsep kepribadian nasional sebagai dasar dan tehnologi Barat sebagai alat praktis. “Dapat dikatakan jika kemajuan Cina pada saat ini diperoleh karena Cina menerapkan politik dendam sejarah atas satu abad penghinaan nasional, sebagai motivasi kebangkitan negara”, kata Dahana. Beda lagi dengan Korea. Menurut Eva Latifah yangf meraih gelar PhD di negeri ginseng itu, Korea merupakan bangsa yang memiliki sifat homogen. Sebagai bangsa yang homogen, maka budaya bangsa Korea  mudah dipertahankan dari serbuan budaya asing. Sebagaimana Indonesia, Korea juga memiliki budaya kolektif. Karena memiliki budaya yang homogen, Korea awalnya menjadi bangsa yang tertutup dan  sulit berubah. Sehingga perubahan yang terjadi baru tercapai selepas tahun 1970 diawali disiplin Korea merevitalisasi nilai-nilai Korea, diantaranya revolusi dalam bidang pendidikan. “Karena itu dapat dikatakan jika dengan keberhasilannya merevitalisasi nilai-nilai kemajuan, Korea berhasil membuat bangsanya berubah maju. Tidak saja membendung masuknya budaya asing yang juga terjadi di Indonesia, namun jug menggunakannya untuk menyebarkan budaya Korea ke seluruh dunia. Revitasilasi nilai-nilai ala Korea ini kiranya dapat dicontoh Indonesia, agar dapat segera mengalami kemajuan”, kata Eva. (Herman Ami)

Berita Lainnya

Index