Kata Bagus, Merakyat Tak Dapat Dibuat-buat

Resensi buku "Merakyat Tak Dapat Di Buat-buat" karya Bagus Santoso Oleh: Dr. H. Syafriadi, SH, MH [caption id="attachment_17735" align="alignnone" width="1024"]Dr. H. Syafriadi, SH, MH menandatangani cover buku karya Bagus Santoso Dr. H. Syafriadi, SH, MH menandatangani cover buku karya Bagus Santoso[/caption] Anggota DPRD Riau, Bagus Santoso, mengungkap pandangan dan fikirannya beragam fenomena politik, social dan pemerintahan dalam buku bertajuk, ''Merakyat tak Dapat Dibuat-buat''. Inilah buah kegelisahan intelektual dari seorang politisi. Kemunculan Joko Widodo yang sukses menjadi politisi, dari Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, telah mengilhami banyak orang meniru blusukan Jokowi. Selama duduk di kursi DKI Satu, Joko Widodo memang populer dengan gaya blusukannya. Ia menyambangi rumah-rumah penduduk, berjalan dari satu bantaran sungai ke bantaran lain. Masuk ke pusat-pusat keramaian, menyelesaikan satu masalah ke masalah lainnya sehingga trade mark blusukan itu seakan menjadi ''hak patent'' Jokowi. Tak sampai di situ, gaya blusukan Joko Widodo ini telah mempopulerkan alumni Universitas Gajah Mada yang lahir tahun 1961 itu, menjadi gubernur yang disukai rakyat. Dan, alkisah Jokowi pun digadang-gadang lembaga survey sebagai calon presiden terkuat. Elektabilitas Jokowi menjadi presiden pada pilpres mendatang jauh meninggalkan calon-calon lain seperti Prabowo, Aburizal Bakri, Megawati Soekarno Puteri, Hatta Rajasa, Wiranto, Mahfud MD dan Jusuf Kalla. Gaya berpolitik Jokowi itu ternyata banyak ditiru para politisi dan dikagumi birokrasi. Para calon gubernur, calon bupati dan calon walikota juga para caleg yang kini sedang bertarung di arena pemilu rame-rame blusukan sampai-sampai panggung kampanye terbuka tak lagi diminati seperti pemilihan umum lima tahun lalu. Tak sampai di situ, diantara politisi itu selain memasang gambar Jokowi pada baliho dan attribut lain, ada pula yang menggunakan baju petak-petak ala Jokowi. Bagus Santoso mengamati fenomena itu sebagai sebuah tontonan seru. Bagi Bagus Santoso, gaya orisinil seseorang tidak dapat ditiru-tiru. Sebab watak dan karakter tak bisa dibuat seragam. ''Pasti berbeda dan tak sama,'' kata Bagus Santoso. Ia mengambil contoh gaya Obama, Presiden Amerika Serikat, yang berbeda dengan Presiden SBY. Demikian pula dengan Jokowi berbeda pula dengan Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo. Cengkok dan corak seseorang tak akan dapat dipaksakan dengan cara meniru-niru. Sejarah, tegas Bagus, pasti berulang hanya waktu dan wajah yang beda. Karena itu, Bagus Santoso menyarankan kepada seluruh politisi, jadilah diri sendiri. ''Merakyat tak Dapat Dibuat-buat'' hanya satu tulisan Bagus Santoso dari tiga bab buku ''Merakyat tak Dapat Dibuat-buat''' . Buku setebal 191 halaman yang diterbitkan oleh Sutra Benta Perkasa ini diantar oleh tiga tokoh dari latar belakang berbeda. Yakni Prof Dr Ashaluddin Jalil, MS (Rektor Universitas Riau), Dr. H. Syafriadi, SH, MH (Ketua SPS Cabang Riau) dan RHR Dodi Sarjana (Pimred Tribun Pekanbaru). Bagus membagi tulisannya ke dalam tiga bab. Bab I tentang Potret Wajah Politik Kita, Bab II Dinamika Sosial Negeri Ini dan Bab III Jalan Terjal Pemerintahan. Dalam menyampaikan, mengulas pikiran dan pandangannya, Ketua Komisi D DPRD Riau itu mampu memainkan dua lakon sekaligus. Selain dapat menulis dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, juga terkesan terampil menuangkan gagasan. Simaklah misalnya bagaimana Bagus menyoroti pesta demokrasi pemilihan umum dalam tulisan bertajuk, ''Musim Pemilu Itu Sudah Tiba''. Di sana ia bercerita, saat bacaleg (bakal calon legislative) tengah sibuk mempersiapkan tetek bengek administrasi untuk menjadi caleg, rakyat terutama para nelayan yang saban hari melaut justru tak peduli dengan pemilu yang sudah diambang pintu. Bagi mereka yang terpenting adalah melaut, menangkap ikan lalu hasil tangkapan itu bisa menafkahi kebutuhan hidupnya. Bagus juga menyayangkan sikap para akademisi dan cerdik pandai lain yang lebih memilih berada di luar system kekuasaan daripada masuk ke pusat kekuasaan. Tetapi dari luar pagar itu mereka selalu mengkritik para politisi yang seakan tak mampu mengontrol jalannya pemerintahan. Bagi Bagus, hidup itu seperti roda pedati, dalam satu waktu berada di atas di lain waktu dibawah, yang terpenting sekarang adalah bagaimana berbuat maksimal. Karenanya Bagus berpesan jangan mencela politik. Bagus Santoso dapat menulis dan menuangkan buah fikirannya ke dalam berbagai tulisan itu karena ia seorang wartawan. Karier wartawan dirintisnya dari anak tangga paling bawah. Awalnya ia menjadi loper. Lalu kemudian hijrah ke redaksi belajar menulis, setelah itu menjadi wartawan beneran. Di Harian Pagi Riau Pos dan Dumai Pos, kader PAN ini mengasah keterampilan jurnalistiknya sebelum menekuni dunia politik menjadi anggota DPRD Riau. Sebagai wakil rakyat, Bagus Santoso tentu berhak mencermati dan mengulas segala masalah yang mengemuka di legislatif. Ia juga memiliki banyak waktu bercerita tentang pengalamannya membahas anggaran seperti dikisahkannya dalam tulisan, ''Sengkarut Gagalnya Ketok Palu'' atau pengalaman saat mengelilingi Pulau Rupat yang dalam buku itu ia sebut sebagai Pulau Harapan. Atau ketika ia bercerita tentang dinamika Pemilu 2014 yang tak sehebat dan sehangat Pemilu 2009 dalam tulisan, ''Pemilu; Musim Memikat Hati Rakyat''.  Atau bagaimana ia meneropong ekpektasi masyarakat terhadap terpilihnya Annas Maamun dan Andi Rachman yang terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur pilihan rakyat pada Pilgubri 2013. Pada semua tulisan-tulisan itu juga tulisan lainnya Bagus secara leluasa bermain kata. Ia secara apik menuangkan fikiran-fikirannya bagai ''menarik rambut dalam  tepung''. Rambut tertarik tepung tidak berserakan. Kritis, lugas dan ditulis dengan gaya bahasa santun sehingga tak membuat kuping mereka yang membacanya memerah. Sikap kehati-hatian Bagus ini tentu dapat dipahami dari latar belakangnya sebagai orang yang lahir di tanah Jawa. Inilah yang membedakan Bagus dengan politisi lain, yang hanya mampu berbicara tetapi tak terbiasa menulis. Akibatnya mereka tidak seleluasa Bagus memposisikan sense of crisis nya sebagai anggota dewan. Sayangnya sebagai penulis yang kritis Bagus alpa mengkritik koleganya di DPRD yang kadang berulah dalam menjalankan fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan. Misalnya dalam tulisannya tentang ''Pesona RZ'' yang sekarang (Rusli Zainal) mendekam di balik teruji setelah didakwa KPK dalam kasus PON dan Kehutanan. Bagus Santoso tak sedikit pun menyinggung kenapa RZ terseret dalam kasus itu, bukankah kasus ini bermula dari tertangkap tangannya anggota DPRD Riau saat membahas revisi Perda PON? Tulisan ini akan lebih menarik kalau Bagus menceritakan perilaku menyimpang sepuluh anggota dewan yang berstatus terpidana, yang endingnya menyeret birokrat termasuk Gubernur Rusli Zainal. Kata Raja Ali Haji, ''Segala pekerjaan itu boleh dibuat dengan kalam, adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat pedang. Maka itulah ibarat yang terlebih nyatanya. Dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan segores kalam jadi tersarung''. Lepas dari kelemahan buku ini, Bagus Santoso telah berkalam dan menyampaikan pesan yang tersurat dan tersirat untuk kita. Syabas.* (syafriadi) Judul Buku    : Merakyat tak Dapat Dibuat-Buat Penulis          : Bagus Santoso Penerbit        : Sutra Benta Perkasa, 2014 Pengantar    : Prof Dr Ashaluddin Jalil, MS Dr. H. Syafriadi, SH., MH RHR Dodi Sarjana Tebal            : 191 hal. 20140407-145205.jpg

Berita Lainnya

Index