Soal Korupsi, Gubernur se-Indonesia Minta Kepastian Hukum

BANDUNG (RiauInfo) - Para gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) merasa terancam dengan praktik pemberantasan korupsi yang dinilai sudah keluar dari norma dan aturan yang ada. Akibatnya, para gubernur selalu merasa was-was setiap mengambil kebijakan karena bisa saja dinilai telah melakukan tindakan koruptif. Hal itu mengemuka dalam rapat kerja APPSI yang digelar di Hotel Grand Preanger Bandung, Kamis (2/12). Kekhawatiran ini semakin membuncah menyusul banyaknya kepala daerah yang terpaksa masuk bui akibat dinilai salah dalam membuat kebijakan. Ada juga kepala daerah yang terpaksa menjadi "ATM" oknum aparat hukum karena selalu ditakut-takuti akan ditangkap atau dimasukkan ke penjara. Seperti diketahui, hingga saat ini paling tidak Presiden SBY sudah mengeluarkan izin pemeriksaan oleh pihak berwenang untuk 155 orang kepala daerah, dimana sebagian besar terkait kasus dugaan korupsi. Untuk menyikapi masalah ini, dalam raker kemarin, APPSI mengundang dua pakar hukum, yakni Prof Dr Philipus Hadjon SH dan Dr Chairul Huda SH MH. Dalam paparannya, keduanya mengakui bahwa memang ada diskresi dan distorsi oleh aparat penegak hukum dalam praktik pemberantasan korupsi di lapangan. "Ada kepala daerah yang masuk penjara hanya karena mengeluarkan rekomendasi untuk suatu izin. Padahal yang mengeluarkan izin itu adalah menteri. Ini kan aneh. Seharusnya orang tidak bisa dipidana hanya karena rekomendasi," terang Philipus. Philipus sangat menyayangkan praktik hukum yang berbeda-beda antara satu penegak hukum dengan yang lain dalam menyikapi suatu kasus. Ini, tegas dia, telah membuat pelaksanaan hukum di lapangan menjadi berantakan dan tidak jelas. "Seharusnya seribu pakar hukum atau aparat hukum, tapi pemahamannya sama. Bukan malah sebaliknya," sesalnya. Hal senada juga ditegaskan Chairul. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kebablasan. Seharusnya, kata dia, KPK lebih mengutamakan pencegahan korupsi daripada menangkap orang-orang yang belum tentu terbukti melakukan tindakan korupsi. "Sekarang kan yang lebih mengemuka dalam tugas KPK itu menangkap para koruptor. Padahal sebenarnya tugas KPK tidak hanya itu, ada yang lain seperti memberikan super visi dan mengupayakan bagaimana orang tidak lagi mau korupsi. Ini kan kesannya kalau sudah menangkap orang, itu hebat. Padahal dalam hukum itu, jauh lebih baik membuat orang tidak melakukan korupsi dari pada membiarkan orang melakukan korupsi lalu ditangkap," tegasnya. Chairul memahami kekhawatiran para gubernur mengingat bisa saja seorang gubernur direkayasa seolah-olah telah melakukan korupsi dengan berbagai aturan yang juga sudah direkayasa. "Apalagi menjelang pilkada, biasanya nuansa politisnya jauh lebih kental. Tiba-tiba ada saja kasus yang diangkat dan dijadikan mainan politik. Ini sangat berbahaya, tapi inilah yang terjadi di Republik ini," ungkapnya. Chairul yang mengaku berkali-kali menjadi saksi ahli di persidangan kasus-kasus korupsi, mengaku tidak habis pikir dengan banyaknya distorsi dalam praktik hukum pemberantasan korupsi. Inilah tegas dia, yang menjadi PR Pemerintahan SBY. "Kita sangat mendukung pemberantasan korupsi, tapi penegakan hukumnya harus mengacu kepada aturan yang ada, bukan dengan cara-cara yang tidak berdasar kepada hukum," ulasnya. Pada kesempatan itu, para gubernur juga sepakat akan membuat rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden SBY. Termasuk kemungkinan mengambil tindakan class action atas UU No 32/2004 tentang Pemda, dimana dinilai banyak merugikan kepala daerah. (rls)

Berita Lainnya

Index