Pada satu sisi, kegiatan-kegiatan bernuansa keagamaan begitu marak, ayat-ayat suci bertaburan di berbagai tempat dan kesempatan. Tapi pada sisi lain, korupsi justru semakin merajalela terutama di kalangan birokrat yang tampilan fisiknya begitu religius. Pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan menjadi pemandangan lazim, kemiskinan dianggap sebagai masalah individual orang bersangkutan, sehingga tak ada kaitannya dengan kewajiban suatu kaum untuk menanggulanginya.
Ironisnya, permasalahan seperti di atas, yang sejatinya berkenaan dengan persoalan etika kemanusiaan dan moralitas manusia, tidak menjadi wacana inti yang dipersoalkan oleh kaum agamawan. Dalam persepsi ekstrem, kaum agamawan seharusnya memberikan pencerahan dan penegasan tentang batas antara yanghaq dan bathil, bukannya malah membingungkan umat karena tidak lagi berada dalam posisi diametral dengan “kejahatan sosial” seperti (korupsi, kolusi, manipulasi anggaran, dan lain-lain). Di beberapa tempat, seakan berlangsung sebuah proses “simbiosis mutualisme” antara kaum agamawan (yang butuh dana) dan birokrasi korup (yang butuh citra).
Jika kita sepakat bahwa agama dipandang sebagai “tanggul” penahan jebolnya moralitas, maka isu-isu yang berkenaan langsung dengan kehidupan masyarakat yang terpinggirkan tersebut, seharusnya menjadi tema inti agama-agama. Inilah sejatinya persoalan yang mengimperatifkan munculnya anggapan pihak yang skeptis, bahwa ternyata ada disparitas yang kian melebar antara agama dengan persoalan aktual sosial kemasyarakatan.
Persoalan sosial yang paling kentara di tengah “kebangkitan agama-agama” adalah maraknya korupsi serta praktik-praktik kolutif di kalangan masyarakat, paham materialisme yang begitu merasuk dalam seluruh denyut kehidupan. Kesuksesan ekonomi seseorang selalu dipandang dari hasil akhirnya. Tak peduli, cara bagaimana ia memperoleh kekayaan tersebut.
Pada sisi lain, kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat dinilai sebagai persoalan individual, bukan struktural. Karenanya, jika pun orang dengan dalih agama melakukan kebajikan dengan menolong si miskin, maka sifatnya sekadar “karitatif” (charity/sedekah) atau bahkan kampanye politik.
Agama tidak pernah menjadi landasan pokok memberantas kemiskinan dari akar persoalannya, yakni ketidakadilan. Jelas, dalam kaitan ini bagi si miskin, agama tidak pernah menjadi “dewa penolong” untuk keluar dari jerat kemelaratan. Selain itu, kebangkitan agama-agama yang muncul sebagai respons derasnya dekadensi moral, melonggarnya nilai-nilai di masyarakat, membuat masyarakat begitu peka terhadap persoalan-persoalan menyangkut “etiket”, misalnya tentang pelecehan seksual, pelecehan agama, dan lain-lain.
Kerap disampaikan bahwa agama mempunyai peran vital dalam meletakkan kerangka landasan moral, etik, dan spiritual. Jika itu yang dijadikan sasaran akhir, jelas bahwa agama harus menunjukkan “prestasi” lebih dari apa yang telah ditampilkannya. Kepuasan—jika pun bisa dikatakan demikian—jangan cuma muncul hanya karena maraknya kehidupan ritual keagamaan.
Gelegar semangat ritualisme keagamaan yang mengedepan dalam kehidupan sosial masyarakat, ternyata tidak lantas paralel dengan gelegar yang sama dalam memberi solusi implementatif bagi segenap ketimpangan dan penyakit sosial yang melanda kita. Banyak persoalan etis yang amat mendasar di negeri ini membutuhkan sumbangsih agama (penganut agama) sesegera mungkin.
Agama tidak bisa disebut berhasil bila hanya membuat pemeluknya khusyuk berdoa, tetapi tidak bermanfaat apa-apa dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, tidak bersuara apa-apa ketika hak-hak masyarakatnya diperkosa. Yang mutlak harus dikedepankan saat ini adalah mengaplikasikan nilai-nilai agama untuk senantiasa mampu menjawab persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan pada tataran praksis. Dengan kata lain, kesalehan individual haruslah sejalan dengan kesalehan sosial.
Inilah hal yang terlupakan oleh kita selama ini, bahwa agama kerap dipraktikkan hanya menyangkut hubungan vertikal seseorang dengan Tuhannya, dan tidak berkait dengan persoalan sosial sehari-hari. Dogmatisme dan ritualisme semata bukanlah pertanda “kebangkitan agama”, karena yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah nilai praktis dan aplikatif dari ajaran-ajaran agama tersebut.
Pada konteks inilah, kita menanti terwujudnya agama “autentik” yang senantiasa memberi jawaban atas segala persoalan sosial yang melanda masyarakat. Tatkala kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, sektarianisme, korupsi, kolusi, dan berbagai penyakit sosial lainnya menjadi pemandangan yang kian lazim dalam keseharian kita, agama menjadi sumber autentik bagi hambanya, untuk memberi jalan keluar aplikatif dan implementatif sesegera mungkin.
Jika agama telah memberi sumbangsih demikian, niscaya ghirah ritual keagamaan yang menyemai di mana-mana, lebih-lebih di bulan Ramadan tahun ini, tidak lagi dirasakan semu bila dikaitkan dengan kenyataan sosial yang ada. Bila sudah demikian, agaknya tak perlu lagi ada kontradiksi antara agama kultural dan struktural.***
TASYRIQ HIFZHILLAH, Redaktur di MelayuOnline.com dan Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta