SERING KITA DENGAR orang saat ditanyai belum dibangunnya ini dan itu, pokoknya yang menyangkut kepentingan orang banyak, dijawab dengan kalimat, "dananya belum ada", termasuk di propinsi yang kaya, seperti di Riau. Akhirnya tertundalah sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Apa memang harus menunggu kucuran uang saja untuk memulainya? Janganlah menerapkan paradigma demikian. Berbahaya. Karena hanya akan menciptakan ketergantungan berkelanjutan yang gilirannya membuahkan "mitos".
Kalau definisinya ditelusuri secara filosofi dan historis, "membangun daerah" ialah mengamati celah-celah di sekitarnya, kemudian diberdayakan, dikombinasikan, sehingga memberikan nilai jual.
Taroklah di Riau, tepatnya di pedalaman, ada sekelompok penduduk pandai mempermainkan "bersin hidung" secara terkordinir, sehingga menghasilkan suara seperti irama lagu tertentu. Syukur-syukur katagori global ala "The Beatles".
Bukankah itu pun merupakan aset sebagai objek wisata kalau memang dianggap langka? Tinggal siapa bersedia menjadi promotornya? Syukur-syukur tokoh setempat mengingat mereka mempunyai kompetensi tinggi membuat kebijaksanaan. Tinggal merangsang mereka meningkatkan profesionalismenya. Kalau perlu dalam bentuk keputusan demi tumbuhnya motivasi mereka. Tidak usahlah dulu diberi harapan honor.
Siapa tahu karena uniknya itu menjadi objek peliputan para wartawan asing serta disiarkan melalui media massanya masing-masing ke mancanegara. Ini kan sama saja dengan meningkatkan popularitas daerah Riau. Dampaknya pun terhadap industri parawisata bisa dikalkulsi atau diprediksi, bukan?
Itulah contoh tokoh yang membangun daerahnya hanya dengan modal kepemimpinan dirinya dan keterampilan warganya, tanpa keluar kocek sedikit pun.
Hal sama pun bisa dilakukan melalui internet. Ini tidak berarti tokoh daerah harus menyediakan perangkatnya, seperti ISP, PC, sampai telepon. Cukup adanya kemauan keras memobilisasi pemilik situs web asal Riau di mana pun tinggal. Yakni menghimbau mereka memberikan sedikit kapasitas memori untuk mempromosikan produk warganya, sekaligus meminta mereka memasukkan linknya pada situs terkenal pada fasilitas serach seperti di yahoo, google, dan lycos.
Seperti kita lihat bahwa banyak orang kebingungan saat mencari barang lokal ketika baru saja sampai di Riau dengan menyetir kendaraannya. Putar ke sana ke mari, tanya kepada mereka di pinggir jalan, akhirnya baru ketemu setelah menghabiskan waktu begitu lama. Padahal untuk mencapainya mungkin cukup beberapa menit saja kalau mereka langsung mengetahui lokasinya.
Itulah contoh, bagaimana ketidaktahuan informasi sepele bisa menjadi batu sandungan bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhannya. Malah bisa menggagalkan/ mengganggu rencana utama.
Terobosan ini akan menciptakan suasana memberi keuntungan secara timbal balik (Simbiosis Mutualisme). Mengapa? Terang saja karena sambil mencari barang lokal, si pengakses mungkin melirik produk jualan penyedia halaman iklan tersebut. Kalau memang tertarik, siapa tahu akan dicari serta dibelinya juga.
Bukankah dewasa ini banyak orang asing saat pergi ke sana mencari souvenir/ makanan tertentu hasil kalangan pengusaha lemah. Kalau sudah tahu lewat internet, mereka tidak perlu banyak tanya, terlebih kalau bahasa menjadi faktor kendala komunikasi. Cukup mencari alamatnya.
Membangun daerah Riau hendaknya juga disertai keinginan kuat untuk memberdayakan karakteristik khasnya serta tidak atau kurang terdapat di daerah mana pun : domestik maupun mancanegara. Karena merupakan modal untuk mengwujudkannya menjadi produk bersifat unggulan dan bernilai guna.
Bukankah pemasarannya akan lebih terasa bila menggunakan media massa global, yakni internet. Sungguh sayang kalau para aktivis internet asal Riau tidak peduli untuk mempromosikan potensi kampung halamannya.
Masa sih dari himbauan tersebut tidak seorang pun bersedia. Adakalanya tidak dilakukan oleh mereka bukan tidak peduli, tetapi hanya karena "belum terpikirkan" atau "kurang apresiasi". Kan tidak semua pemilik situs mempunyai inisiatif semacam itu. Dengan adanya permintaan dari para tokoh Riau berarti mendorong/mengetuk hati mereka mengwujudkannya.
Ingat, Jepang itu minim sumber daya alam. Tetapi toh tingkat kesejahteraan rakyatnya rata-rata kini menempati papan atas di dunia. Pasalnya mereka secara all out berusaha menghindari kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan dengan memutar otaknya. Jadi kata kuncinya adalah akal : "kreativitas dan implementasi". Tanpa modal bisa saja menjadi sukses.
Sejarah pun banyak menceritakan hal seperti itu. Entah berapa banyak lahir pemimpin sukses bukan dengan kekuatan uang, tetapi kemampuan mencari terobosan serta menindaklanjutinya sehingga memberikan kredit point.
Andaikan banyak banyak pemimpin panjang akal seperti itu maka tidak perlu diragukan lagi : peluang bagi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran di daerahnya masing-masing akan sangat besar meskipun bukanlah uang modal utama awalnya.
Daerah Riau sarat dengan sumber daya alam. Ia seperti memberikan banyak harapan bagi penduduknya. Tetapi ingat, semua ini hanya fatamorgana belaka kalau saja tidak disertai kemampuan memberdayakannya. Miriplah dengan anak kecil saat menerima warisan satu gudang beras dari kedua orangtuanya. Sambil lalu saja ia merasa akan bisa makan setiap hari. Tetapi kenyataannya ia tidak bisa memasaknya menjadi nasi. Akhirnya terpaksa memanggil orang luar untuk membantunya dengan sistem bagi hasil.
Hendaknya ini segera menjadi renungan. Khususnya bagi para pemimipin di Riau dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Penulis tinggal di Bandung, menekuni Bidang Studi: Reformasi Sains Matematika Teknologi. Email:acu@bdg.centrin.net.id