Tidak mau kalah dengan negara maju yang memberikan kontribusi banyak terhadap global warming (pemanasan global) melalui efek rumah kaca, Riau juga telah menyumbang melalui kebakaran hutan. Kebakaran hutan Riau yang tidak henti-hentinya terjadi selama musim kemarau 10 tahun terakhir telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu pendonor terbesar terhadap global warming yang menjadi epidemi dunia kini. Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawaban utamanya adalah ekonomi.
Banyak penduduk Riau tidak begitu sadar terhadap masalah ini. Tetapi dampak dari global warming telah terjadi di Riau. Ini terbukti dengan kenaikan suhu di Riau sebesar dua derajat Celsius. Hal ini berdampak dengan rawannya daerah gambut untuk terbakar. Ini akan menjadi sangat berbahaya karena api tidak hanya terjadi di atas permukaan tanah tetapi juga di bawah permukaan tanah. Api di bawah permukaan tanah lebih berbahaya karena kebakaran gambut satu hektar bisa menjalar menjadi ratusan hingga ribuan hektar melalui gambut. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin hutan Riau akan terancam habis terbakar.
Tidak hanya di Riau, kenaikan suhu juga berdampak pada dunia. Kedua kutub dunia juga mengalami kenaikan suhu sebesar dua derajat yang menyebabkan cairnya gunung es yang akan meningkatkan permukaan air laut di seluruh dunia. Dan lambat laun dampak dari global warming adalah perubahan iklim. Perubahan iklim dunia menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia yang berada di kawasan khatulistiwa. Negara di kawasan khatulistiwa diprediksikan akan mengalami dampak negatif yang lebih besar daripada negara yang berada di luar khatulistiwa. Ancaman banjir dan longsor meningkat, musim tanam berubah, dan musim kemarau yang berkepanjangan. Tetapi ancaman yang lebih besar adalah keberadaan Kepulauan Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menjadi kawasan rawan untuk tenggelam akibat naiknya permukaan air laut sebagai dampak dari cairnya gletser di kutub.
Melihat realita yang ada, penulis yakin banyak masyarakat Riau yang akan sadar dan tergerak hatinya untuk menyikapi masalah global warming ini. Penulis yakin, semua mata akan tertuju pada kebakaran hutan. Tetapi, langkah dan tekad ini akan berbenturan dengan masalah ekonomi dan keterbelakangan di Riau.
Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai salah satu komiditi terbesar Riau adalah penyumbang terbesar kebakaran hutan melalui aktivitas pembukaan lahan. Pembukaan lahan dengan membakar dianggap efektif karena memakan biaya yang rendah dan cepat, tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi. Walau sudah ada peraturan yang melarang pembakaran lahan, lemahnya kontrol dari pemerintah dan masyarakat menyebabkan pembakaran hutan sering terjadi. Pemerintah juga dihadapkan pada masalah penegakan hukum karena orang yang membakar lahan umumnya hanyalah orang suruhan dari perusahaan atau perantara. Menurut penulis, inilah faktor yang menyebabkan mengapa kasus kebakaran hutan yang dilakukan Hak Pengusahaan Hutan dan Perkebunan tidak pernah tuntas.
Ditambah lagi dengan Peraturan Daerah (Perda) Penanggulangan Pembakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) dan Lingkungan Hidup yang telah disahkan oleh DPRD Riau. Perda ini menyatakan bahwa petani tradisional boleh membakar lahannya seluas dua hektar. Padahal, pembakaran hutan untuk membuka lahan adalah penduduk pendatang yang tidak terdaftar dan tidak terkontrol oleh aparat pemerintah. Jadi, seolah-olah pemerintah Riau mendukung pembakaran hutan. Penulis menyangsikan keberadaan Perda ini. Melihat kurangnya pengawasan pemerintah Riau, Perda ini akan mudah menjadi kambing hitam bagi petani atau bahkan pengusaha perkebunan “nakal” untuk terus berkreasi dengan membakar hutan.
Untuk melihat gambaran dari nilai ekonomi dari membakar lahan, mari kita bandingkan biaya langsung dan biaya tidak langsung antara membakar lahan dengan menebang pohon. Pertama penulis akan menghitung biaya langsung dengan asumsi 1 hektar lahan dengan asumsi 100 orang yang terkena efeknya. Biaya untuk membakar lahan dengan menggunakan minyak tanah sebanyak 10 liter adalah Rp 28 ribu dan biaya upah pekerja sebesar Rp 160 ribu dengan rincian Rp 40 ribu untuk satu pekerja per harinya dengan menggunakan 2 orang pekerja dan 2 hari kerja, sehingga total biaya langsung adalah Rp 188 ribu. Sedangkan untuk menebang satu hektar lahan meliputi biaya upah sebesar Rp 2 juta yang terdiri dari Rp 40 ribu untuk satu pekerja per harinya dengan menggunakan 5 orang pekerja dan 10 hari kerja. Lalu ada biaya mesin gergaji sebesar Rp 2,5 juta dengan rincian Rp 500 ribu biaya operasional per hari untuk 5 buah mesin gergaji. Maka total biaya langsung adalah Rp 4,5 juta.
Sekarang, mari kita menghitung biaya tidak langsung atau efek negatif .Biaya tidak langsung membakar lahan meliputi: estimasi ikutnya terbakar 2 hektar lahan lain akibat api yang menjalar mekaman biaya Rp 40 juta dengan harga tanah perkebunan Riau sebesar Rp 20 juta per hektarnya. Lalu akibat asap yang terjadi, akan dibutuhkan Rp 500 ribu untuk 100 masker bagi warga. Kemudian, biaya kunjungan ke Puskesmas sebesar Rp 600 ribu dengan rinician 20% warga akan terinfeksi penyakit pernafasan akan melakukan 2 kali kunjungan dengan tarif Rp 15 ribu untuk tiap kunjungan. Tidak lupa, biaya damai dengan polisi sebesar kurang lebih Rp 10 juta. Selain itu, ada juga nilai yang tidak bisa diperhitungkan yaitu punahnya flora dan fauna yang berhabitat di lahan terbakar dan juga hilangnya nilai nutrisi tanah akibat tanah dibakar. Maka, tanpa menghitung kedua elemen tersebut total biaya tidak langsung membakar hutan 1 hektar adalah Rp 51,1 juta. Sedangkan untuk biaya tidak langsung dari menebang hutan hanya terdiri dari biaya asuransi dari keselamatan pekerja sebesar Rp 750 ribu dengan rincian Rp 15 ribu asuransi satu pekerja per harinya. Sehingga jika dijumlahkan biaya membakar lahan akan memakan biaya Rp 51.128.000 sedangkan menebang pohon Rp 5.250.000.
Jika kita membandingkan dua biaya diatas, kita dihadapkan pada pilihan untuk memilih antara biaya operasional yang rendah tetapi biaya kerugian besar atau biaya operasional yang cukup besar tapi biaya kerugian yang kecil. Pilihan yang bijak adalah untuk memilih pilihan kedua, Tetapi pada kenyataannya masyarakat sekarang lebih cenderung memilih pilihan pertama. Dimana peribahasa “lambat asal selamat” berubah menjadi “cepat asal sampai”. Yang penting sekarang untung, masa ke depan adalah masalah nanti. Sebagai pencinta alam, penulis sangat prihatin atas mental masyarakat Riau ini. Selama 10 tahun terakhir, kita sudah mengikis 50% hutan Riau, tetapi sepertinya kita tidak pernah sadar dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Apakah kita harus menunggu sampai suhu naik 10 derajat lagi agar kita akan sadar?
Inilah saatnya kita bertindak untuk menyelamatkan alam kita. Sebenarnya penulis heran terhadap ironi yang terjadi di Riau. Kita sungguh bersemangat dalam menuntut hak otonomi daerah tetapi sampai detik ini tidak pernah terjadi tindakan radikal yang mempersalahkan kebakaran hutan. Pertanyaan di benak penulis, apakah kita terlalu berorientasi pada harta sehingga kita melupakan alam?
Marilah kita memulai membuka mata dengan berkontribusi untuk mencegah global warming. Kita harus mulai berpartisipasi dalam memberantas kebakaran hutan. Kita bisa memberi dukungan kepada Pemerintah Riau untuk lebih tegas dalam mengawasi dan menindaklanjuti kasus pembakaran. Disini kita bisa membuat penyuluhan kepada petani dan pekerja perkebunan akan bahaya dari membakar lahan. Selain itu, kita juga bisa memberi tekanan kepada Pemerintah Riau untuk membuat Perda baru yang melarang segala jenis pembakaran lahan dengan tetap menjamin mata pencaharian petani tradisional.
Sebenarnya langkah ini sangat mudah untuk diimplementasikan. Namun, jika kita mudah terpengaruh oleh pihak yang merasa dirugikan dari kebijakan ini, maka sangat sulit untuk mengimplentasikannya. Oleh karena itu, kita harus tetap menjaga komitmen awal dan tidak putus asa. Jangan kita terjun ke lubang yang sama berulang kali seperti apa yang selalu terjadi di Indonesia saat ini. Awalnya semangat tapi lambat laun melemah dan hilang begitu saja.
Saat ini, uang menjadi pembenaran dari segala dampak negatif yang terjadi. Tetapi, apakah uang lebih berharga daripada alam yang telah memberikan segala manfaat bagi manusia? Apakah kerakusan manusia akan mendapat balasan berlipat dari alam? Ini adalah tugas kita untuk menjawab karena jika bukan kita, siapa lagi?
Nessa Nendyta Tedji adalah Mahasiswa School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (ITB), asal Pekanbaru